Egoku; Saka; dan Bayangmu

Adelia Hasna Nabilla
2 min readJan 15, 2021

--

Akan ku jawab ribuan pertanyaanmu tentang Sang Penjaga, sekarang.

Pawakannya berisi, senyumnya manis disertai lesung di sebelah kanan. Saka yang datang dengan wajah kesalnya itu ternyata baik sekali. Cueknya, dinginnya, ternyata kerap luluh saat aku minta dijemput di pertigaan pukul empat pagi. Aku yang kerepotan karena harus membawa banyak barang pun terdiam saat telapak tangannya meraih barang-barangku.

“Naiknya ati-ati,” ucapnya sambil membuang muka.

Ya begitulah, sedikit cerita tentang pertemuan keduaku dengannya. Tidak ada yang spesial, tapi ternyata bisa menjadi momen paling mendebarkan saat kami berdua kembali mengingatnya.

Bersama Saka rasanya seperti berdiri di antara dua perasaan. Benci sama nyaman benar-benar beda tipis. Tapi justru karena ngeselinnya itu, malah bikin aku jadi nggak pernah pengen jauh-jauh dari dia.

Saka memang bukan kamu yang selalu datang dengan tatap dan kata meluluhkan. Dia juga nggak pernah tiba-tiba ngasih cokelat kalau aku lagi ngambek nggak jelas. Tapi peluknya ada, ya meski tidak akan pernah terasa sama.

Aku sempat cerita ke Saka tentangmu. Tapi dia nggak pernah marah, sama sekali enggak. Dia cuma bilang, “yang sayang akan kalah dengan yang selalu ada.”

Benteng pertahananku untuk kembali padamu seketika runtuh saat mendengarnya. Rasanya seperti mati rasa. Ditambah lagi kamu yang baru saja ‘pamer’ pelarian baru pada akun sosial media. Sungguh, aku tidak tahu lagi harus maju atau mundur.

Seiring berjalannya waktu, Saka juga membuatku sangat nyaman. Dia sering membelikan red velvet kesukaanku. Dia juga kerap sepertimu yang senang mendengarkan musik dan menonton film. Tapi sedihnya, aku seakan-akan hanya memberinya raga, tidak sepaket dengan hatinya.

Mungkin aku yang salah. Aku begitu terburu dalam menerima Saka. Aku mengawalinya dengan “jalani dulu aja” tanpa tahu apa yang benar-benar diingin dan dibutuh. Bahkan aku merasa, nyamanku dengan Saka adalah bukti bahwa aku benar-benar menuruti pintamu untuk segera menemukan.

Aku sadar, mencintaimu adalah hal paling keterlaluan, Rama. Sampai-sampai pintamu agar aku beralih sudah ku penuhi. Dan sepertinya hatiku justru malah menyisakan ruang tersendiri untuknya. Karena sekali lagi ku tegaskan. Dia bukan pelarian.

Tapi ya tetap saja, dia bukan kamu.

--

--

Adelia Hasna Nabilla
Adelia Hasna Nabilla

Written by Adelia Hasna Nabilla

Ini adalah Ruang Perspektif; menyapa, berdiskusi, bercerita. Semoga bisa menyembuhkan hati dan jiwa yang patah tak terarah.

No responses yet