Kamu dan Paradigma

Adelia Hasna Nabilla
2 min readDec 18, 2020

Tempat itu memberi sudut pandang baru: tentangmu yang nyatanya benar memilihku.

Inginnya pergi jauh, tapi aku justru dibuat mundur. Baru bagian lima dan rasanya masih — akan sangat — banyak pembabakan manis yang harus diceritakan. Pun aku malah kian berbunga karena sejak awal memang tak pernah membiarkan memori begitu saja.

Kali ini aku ingin menceritakan tentang halte. Iya, halte yang kerap ikut menjadi saksi penantian menyenangkan selain es krim. “Bertemu di halte biasa, jam sepuluh,” begitu katamu.

Aku masih ingat betul kita yang sengaja berpakaian senada, melambaikan tangan saat saling menemukan.

Langit hari itu juga tampak begitu cerah. Mentari seperti sedang menyambut sebuah perayaan. Kamu yang berdiri di depan palang berwarna merah pun lekas berkawan dengan telapakku, menggengamnya sangat erat.

Aku terus mengikuti langkahmu dari belakang, sesekali kaget karena hampir terpisah oleh banyaknya orang berlalu-lalang. Dengan gesit, kamu segera meraih pergelangan tanganku, menerobos hiruk-pikuk yang tak kunjung berhenti. Keringatmu banyak sekali waktu itu, tapi aku suka.

Sebenarnya kisah halte ini sederhana, bahkan kita hanya menghabiskan waktu lima belas menit berada di sana. Tapi rasanya jika diingat detil, ada beberapa poin penting yang membekas di pikirku hingga hari ini. Apa kamu ingat, tentang Malya yang mengeluh karena panas dan kehausan?

Tanpa banyak bicara, kamu pergi menuju seorang nenek paruh baya berbaju hijau. Beliau duduk sendiri sambil memangku nampan berisikan berbagai minuman dingin. Aku pikir kamu hendak membelikanku minum. Tapi ketika kembali, kamu tidak membawa apa-apa. Hanya tersenyum sambil mengusap keringat yang hampir terjatuh dari dahimu.

“Kirain mau beliin aku minum, soalnya tadi kayak ngeluarin uang gitu dari saku.”

Kamu pun berdiri di hadapanku, gantian mengusap keringat yang turut membasahi pipiku. “Kamu lihat nenek tadi kan?”

Aku mengangguk pelan.

“Beliau hebat ya, sama sekali nggak ngeluh. Padahal udah kepanasan dari tadi.”

Aku terdiam.

“Kalau kamu haus, kan aku bawa minum sayaang. Nih ada di tasku,” katamu sambil mengambil tumbler berwarna biru.

Aku meneguk air pemberian Rama dengan begitu luluh. Tatapnya seperti tidak ingin beralih. Aku pun menengok ke arah nenek tadi, tersenyum dan sedikit menganggukkan kepala seraya menyapanya.

“Kalau mau jajan di tempat umum, hati-hati. Mending bawa tumbler sendiri aja.”

Lagi Rama.

Untuk kesekian kalinya kamu mengajarkan banyak hal tanpa sedikit pun menggurui. Aku memperhatikan Rama yang ikut minum untuk melepas dahaga. Dan ya, seseorang menyenggolnya. Sisa air di dalam botol itu membasahi baju yang ku kenakan. Aku menertawakan Rama yang kebingungan karena harus membersihkan bajuku dengan tisu. “Nggak papa Rama, bentar lagi juga kering kok.”

Rama yang penuh kasih, Rama yang penuh cinta.

Ia merangkul pundakku dan segera membeli dua tiket bus kota. Sejak kejadian itu, aku semakin yakin dan percaya akan ketulusan Rama. Rama yang tidak pernah lupa untuk merunduk pada sekitarnya; Rama dengan segala paradigma tentang dunianya.

Semoga selalu begitu ya

Karena katamu, apa yang kita tanam itu apa yang akan kita tuai.

Nanti, karma baik di kemudian hari.

--

--

Adelia Hasna Nabilla

Ini adalah Ruang Perspektif; menyapa, berdiskusi, bercerita. Semoga bisa menyembuhkan hati dan jiwa yang patah tak terarah.