Peluk Pertama
Mencintai Malya bukan hanya tentang keras kepala, ambisi, dan ekspektasi orangtuanya. Tapi juga berdamai dengan masa lalunya.
Perempuan dengan rambut panjang yang tergerai indah itu masih tersedu. Tak ada satu pun permasalahan yang benar-benar kumengerti, kecuali sepi di tengah hiruk pikuk notifikasi WhatsApp yang kerap kali muncul dari ponselnya. Detak jantung masih terus berdegup kencang. Iramanya ikut mendebarkan dadaku yang lama tak mendapat peluk.
Ini adalah pertemuan ke duaku dengannya, selain di sekolah tentunya. Aku memang sengaja menawarkan peluk, kupikir orang se cuek dia akan enggan. Ternyata aku lupa kalau dia anak perempuan pertama; manusia terkuat ke dua setelah Ayah. Terlalu banyak yang harus ditahan. Lalu kusandarkan kepalanya yang sedih pada dadaku di penghujung minggu.
“Lho, kok nangis sih?,” tanyaku pelan sambil melepas peluk agar bisa melihat wajahnya.
Malya menggelengkan kepala. Malah semakin memelukku erat. Peluk yang sudah lima belas menit menampung air mata ini tak ingin dilepasnya. Kurapikan anak rambut yang menempel dengan bekas air matanya, kuselipkan di batang telinga kanannya. “Makasih ya Mas, buat energinya.”
“Malah aku yang harusnya bilang makasih udah dimasakin enak hari ini.”
“Yaudah, aku balik sekarang ya? Jam 1 udah ada janji.”
“Rapat? Aku antar ya?”
“Nggak enak dilihat anak-anak, lain kali aja.”
“Kalau gitu aku yang pesan ojolnya. Biar bisa ngetrack udah sampai mana.”
Aku melirik mata sayu yang terpancar dari raut wajahnya. Jarinya kewalahan, sibuk meladeni pesan yang masuk. Perasaan khawatir ini justru menjadi panggilan. Mengharap balasan meski rasanya amat mustahil. Tapi aku percaya, tidak ada pertemuan yang kebetulan. Pasti ada maksud dan jalan ceritanya.
“Bawanya pelan-pelan aja ya pak. Hati hati.”
Malya tersenyum, melambaikan tangan ke arahku.
Pertemuan pertama dengan Malya terjadi sekitar empat bulan lalu. Siang terik di hari Jumat. Rasanya tidak ada satu pun penghuni gedung hijau ini yang tak mengenalnya. Pun aku kerap mendengar namanya dari obrolan anak-anak di kelas. Kala itu, senyum simpul Malya dengan partiturnya kupandang jelas dari baris belakang.
Selesai berkegiatan, Malya kembali mengambil partitur yang ku bawa. Dia tersenyum dan langsung mengemasi barangnya. Dan kini, hanya kami berdua yang tertinggal di ruangan itu.
“Maaf ya, tadi terlambat. Ada perlu di ruang guru.”
“Iya nggak papa. Nggak ada yang nyari juga,” jawabnya sambil tertawa kecil.
“Baru kenal udah rese. Kamu Malya kan?”
“Kok tahu? Kayaknya belum pernah ketemu deh.”
“Udah. Kita sering papasan di koridor.”
“Oh ya?”
“Saka,” kataku sambil mengulurkan tangan.
“Angkatanku? atau atas?”
“Atas. Jadi serius nggak ingat aku sama sekali?”
“Hmm, bahkan satu persen pun enggak,” jawabnya sambil melangkah ke luar kelas.
“Jalannya jangan cepet-cepet dong, mau kemana sih?”
Lagi-lagi Malya tertawa. “Pulang naik apa? Dijemput?”
“Aku tinggal deket sini kok.”
“Iya sama siapa? Bareng aja kalau deket.”
“Jangan, aku nggak suka ngerepotin.”
“Aku suka direpotin.”
“Ih kamu siapa sih, haha.”
Ya. Kiranya begitu. Jutek dan jailnya bisa terjadi dalam waktu yang bersamaan. Aku bergegas menuju parkiran dan segera menyusul Malya. Ternyata dia berjalan kaki, cukup menarik. Lantas aku mematikan mesin motorku dan mengiringinya sampai rumah.
Tidak mudah meluluhkan perempuan dengan segala ambisi, pendirian, dan keras kepalanya. Malya adalah satu satunya orang yang menjadikanku manusia di saat orang lain menganggapku sebagai sampah. Dan sejak siang itu aku bertekad akan menjaga hati Malya dari segala rapuh, termasuk kepulan masa lalunya.
Masa lalu yang tidak mungkin kuhapus.
Tapi bisa disembuhkan.