Satu Jalan, Beribu Nostalgia

Adelia Hasna Nabilla
6 min readOct 4, 2020

--

LATAR BELAKANG | Cagar Budaya merupakan sebuah hal yang perlu dilestarikan. Khususnya negeri kita Indonesia, yang dahulunya merupakan bekas tanah jajahan Belanda. Tentu saja peristiwa tersebut meninggalkan sejuta sejarah juga kenangan. Terlebih lagi untuk daerah istimewa kita, yaitu Ngayogyakarta Hadiningrat. Sedikit orang tahu bahwa terdapat sekitar empat ratus lima puluh enam cagar budaya di daerah ini. Kita dapat melestarikan melalui hal-hal kecil, contohnya senantiasa memakai produk dalam negeri; mengembangkan cagar budaya sebagai tempat wisata untuk lebih dikenal dunia.

SAYA UNTUK DUNIA | Saya adalah seorang gadis berketurunan Jawa, yang tinggal di daerah perantauan lebih dari satu dasawarsa. Saya harus kembali beradaptasi dikarenakan saya harus kembali ke Yogyakarta untuk melanjutkan studi. Cemoohan perihal saya yang merupakan orang Jawa namun tak dapat berinteraksi menggunakan bahasa Jawa pun selalu terlontar.

Keinginan untuk berubah pun terbesit di pikiran saya. Hal tersebut pun membuat saya berhasil mewujudkan kalimat favorit saya: Memayu Hayuning Bawana, yang berarti memperindah keindahan dunia.

Sebagai salah satu pemuda Indonesia — tentunya dengan sangat bangga — saya akan memperkenalkan warisan budaya yang kita miliki pada dunia. Perlahan, saya mencoba untuk mulai memperindah keindahan dunia — tentunya dengan cara saya — dengan membantu melestarikan cagar budaya yang sudah ada. Perlu diketahui bahwa Indonesia memiliki banyak sekali cagar budaya. Dunia harus tahu bahwa negeri kita adalah negeri yang kaya akan warisan dan budaya, khususnya Yogyakarta.

Melewati sebuah jalan yang terletak sekitar delapan ratus meter dari Kraton Yogyakarta atau yang lebih dikenal dengan nama Malioboro: Satu jalan penuh nostalgia, yang selalu saya rindukan.

Dari Satu Kalimat | Memayu Hayuning Bawana — Kalimat yang melambangkan nilai leluhur tentang kehidupan dari kebudayaan Jawa. Memayu hayuning bawana, kalimat ini saya dengar ketika saya menjadi pembawa acara untuk Festival Seni di sekolah. Kalimat yang tertuang dalam penggalan lagu Yeni Bir Dünya yang diterjemahkan dalam bahasa Jawa. Jika diartikan dalam bahasa Indonesia, kalimat ini berarti memperindah keindahan dunia. Satu kalimat yang berhasil membuat saya tersihir. Satu kalimat yang berhasil membuat saya berubah dan memacu saya menjadi lebih baik.

Kembali menginjakkan kaki di kota pelajar. Kembali dalam keadaan lebih dewasa untuk melanjutkan studi. Tidak seperti kala itu, di saat saya hanyalah seorang gadis kecil tamatan sekolah dasar yang masih berteriak kegirangan dikarenakan kembali berlibur. Tak terasa, kini semua berlalu, Ngayogyakarta Hadiningrat telah menjadi tempat dimana saya memilih untuk tinggal menetap.

Berpindah. Pertanda untuk harus kembali beradaptasi dengan lingkungan baru, suasana baru, juga orang-orang baru. Tak semudah yang saya bayangkan. Latar belakang anak perantauan mengubah segalanya. Terlahir menjadi seorang anak yang berketurunan asli Jawa harusnya membuat saya dapat mengenal seluk-beluk daerah ini secara lebih mudah. Sayangnya, tinggal di perantauan selama lebih dari satu dasawarsa justru membuat saya tidak terlihat seperti orang keturunan asli Jawa..

“Katanya asli Jawa, tapi kok nggak ngerti bahasa Jawa? Piye to?

Begitu cemoohan yang sama sekali tak enak untuk didengar. Pertanyaan sekaligus pernyataan yang rutin dilontarkan. Sangat menusuk.

Beruntung, saya adalah seseorang yang selalu menanggapi hal-hal sekecil apapun secara positif. Hal sedetail apapun. Hal buruk datang menimpa saya? Sangat rentan terjadi. Bagi saya, tidak semua hal buruk itu membawa keburukan. Pasti terselip sisi positif mengapa hal tersebut dapat terjadi, mungkin saja karena kita kurang evaluasi.

Hal positif telah membuka jalan pikir saya untuk mulai berubah. Bangkit dari semua penyebab pertanyaan-pertanyaan berinti sama yang sering terlontar, khusus untuk diri saya. Pikiran saya pun terbuka untuk mulai mempelajari budaya Jawa, khususnya Yogyakarta. Saya mulai menekuni bahasa, kebiasaan, termasuk kebudayaannya. Ada sebuah tempat, dimana tempat ini semakin menambah wawasan dan pengalaman. Sebuah tempat yang sudah ditetapkan menjadi salah satu cagar budaya di Yogyakarta.

Ke Sebuah Jalan | Siapa yang tak mengenal “Malioboro” khas Yogyakarta. Terletak sekitar delapan ratus meter dari Kraton Yogyakarta, jalan ini secara geografis terletak membentang di atas sumbu imajiner menghubungkan Keraton Yogyakarta, Tugu, dan Puncak Gunung Merapi. Jalan ini pun terbentuk menjadi suatu lokalitas perdagangan setelah Sri Sultan Hamengku Buwono I mengembangkan sarana perdagangan melalui sebuah pasar tradisional semenjak tahun 1758, atau yang sering dikenal dengan nama Beringharjo (Suyenga dalam Wikipedia). Setelah berlalu 248 tahun, tempat ini masih bertahan sebagai salah satu kawasan perdagangan. Bahkan, Malioboro menjadi salah satu ikon Yogyakarta dengan kehidupan kontras antara siang dan malam.

Saat siang hari, ruas Jalan Malioboro dipadati kendaraan warga yang sedang beraktivitas di sekitar kawasan ini. Sementara di sisi kanan-kiri jalan adalah toko-toko berbagai macam kebutuhan pokok, tak ketinggalan sejumlah pusat perbelanjaan yang memberi kehidupan perekonomian warga Yogyakarta sendiri.

Sebaliknya pada malam hari, kawasan ini dipenuhi aroma sajian kuliner yang menggugah selera. Tergelar puluhan tikar warung lesehan dari menu khas gudeg, hingga bakmi Jawa. Keriuhan suasana lesehan akan ditimpali oleh alunan musik oleh sejumlah seniman. Dalam istilah kuno, mereka disebut sebagai “mbarang” atau pengamen.

Tak jarang orang melewati jalan penuh nostalgia ini. Mulai dari pengunjung lokal, pedagang, sopir becak, kusir hingga tourist pun senantiasa memadati kawasan ini. Khususnya di malam hari, kawasan ini sangat padat untuk dikunjungi. Tak sedikit orang mengatakan bahwa “Belum ke Jogja kalau belum foto di tulisan jalan Malioboro”. Mungkin untuk warga Yogyakarta sendiri, hal tersebut sudah menjadi pemandangan biasa. Namun, perlu diketahui, bahwa hampir semua warga luar Jogja, pasti rela mengantri panjang hanya untuk sekadar berfoto di bawah tulisan Jl. Malioboro, yang pada akhirnya akan diunggah ke akun media sosial mereka, hanya demi mengikuti trend.

Saya yang sempat merasakan menjadi warga luar Jogja, merasakan hal yang sama. Menurut kami, jalan Malioboro bukan hanya sebuah jalan yang dikelilingi desakan warga untuk mendapatkan buah tangan dengan harga yang relatif lebih murah. Namun, menurut kami, jalan ini adalah jalan seribu kisah. Termasuk seribu kisah nostalgia yang dialami ribuan insan. Anggap saja, tempat ini dijadikan ruang nostalgia bagi para penikmatnya.

Dengan adanya jalan ini, ekonomi rakyat juga meningkat, mulai dari terbukanya lahan untuk berdagang, juga lahan untuk berkarya. Bukan sekadar itu, Malioboro juga merupakan lahan untuk bersilaturrahmi, tempat dimana dengan mudahnya orang-orang saling berjumpa. Kita tidak pernah tahu, apa yang orang-orang rasakan ketika berada di kawasan ini.

Termasuk saya sendiri. Menurut saya, Malioboro adalah satu-satunya tempat yang berhasil membuat saya rindu Jogja. Rindu akan keramaian yang selalu indah untuk dikenang. Rindu akan suasana hangat yang selalu saya dapatkan ketika bercengkrama dengan warga Jogja.

Di jalan ini, juga terkenal akan oleh-oleh dengan harga jual yang relatif lebih murah dan tersedia banyak pilihan. Namun, tetaplah berhati-hati. Jangan terburu-buru dalam memilih sesuatu karena akan ada sekitar tiga ribu pedagang yang siap menyambut kedatangan Anda di satu jalan ini dengan tawaran harga yang beragam meskipun beberapa barang yang mereka jual sama. Mencengangkan bukan?

Menikmati cita rasa angkringan diiringi dentuman musik dari para seniman jalanan yang senantiasa menghibur sambil menikmati wedhang ronde yang menghangatkan di kala angin malam tengah menusuk hingga ke dasar tubuh. Para seniman jalanan selalu saja berhasil menyita perhatian saya, termasuk juga, mereka para seniman yang sedang menghibur dua sejoli yang sedang membangun kisah romansa mereka di jalan ini. Juga mereka para anak-anak yang masih merengek meminta berkeliling naik andong atau mereka yang berusaha membujuk orang tua mereka untuk membelikan mainan tradisional yang masih banyak dijumpai di jalan Malioboro.

Cerita malam itu pun saya tutup ketika memandang kendaraan unik terfavorit hati, yaitu becak yang berlalu-lalang di seputaran Malioboro. Becak ini unik karena menggunakan bahan bakar. Tanpa kita sadari, satu-persatu, wujud becak yang sesungguhnya perlahan mulai lenyap. Terlepas dari bentuknya, tentu ada sisi positif yang dapat dipetik dari mulai munculnya becak berbahan bakar ini. Untuk sang sopir, hal ini bisa menjadi alternatif untuk meminimalisasi berkurangnya tenaga mereka.

Dari Saya untuk Dunia | Kembali ke kalimat pertama “Memayu Hayuning Bawana”. Yaitu memperindah keindahan dunia. Apakah jalan ini ada kaitannya dengan kalimat favorit saya?. Jawabannya adalah iya. Menurut saya sendiri, kawasan Malioboro ini sangat memperindah dunia, khususnya untuk daerah Yogyakarta sendiri. Mulai dari banyak pelajaran yang bisa kita ambil saat berada di kawasan ini, hingga membuat Indonesia bangga akan kekayaan budaya dan kerajinan khasnya lewat adaya satu jalan ini.

Masih banggakah kita membeli, memiliki, bahkan mempromosikan kekayaan milik negara asing padahal kita juga memilikinya? Mulailah ikut menciptakan, menginovasikan, serta mengonsumsi buatan negeri kita sendiri. Jangan menyalahkan diri sendiri ketika suatu hari nanti kekayaan budaya kita akan beralih menjadi kepemilikan negara lain. Memperindah dunia dapat dimulai dari diri kita, hal-hal kecil di sekitar kita, juga melindungi apa yang sudah menjadi milik kita.

Saya sendiri sudah mulai berupaya untuk melestarikan budaya Jawa. Contohnya, ketika hati saya mulai tergerak untuk belajar bahasa Jawa yang saya wujudkan dengan cara saya sendiri, yaitu berani membawakan sebuah acara menggunakan bahasa Jawa. Contoh lain adalah ketika saya lebih memilih menggunakan baju batik dibandingkan long dress saat menghadiri sebuah acara.

Melestarikan cagar budaya adalah salah satu hal yang sangat penting untuk dilakukan. Mengingat tak banyak orang mengetahui sejarah akan cagar-cagar budaya yang ada di sekitar kita. Apalagi para anak muda zaman sekarang yang terus mengikuti gaya hidup modern. Kemusnahan tidak dapat dipungkiri jika kita tidak memulai untuk menjaganya. Karena secara perlahan, semua itu akan terlupakan.

Oleh karena itu, menjaga cagar budaya adalah salah satu bentuk perwujudan sederhana dari Memayu Hayuning Bawana. Dengan menjaga cagar budaya, secara tidak langsung, perlahan kita telah memperindah dunia, khususnya untuk negeri kita tercinta: Indonesia.

Memperindah dunia. Mulailah dari hal yang kecil dan terdekat. Perlahan, tanpa kita sadari, kita akan semakin mengembangkan kegiatan tersebut. Lakukan hal-hal positif untuk memperindah dunia kita, khususnya menjaga cagar budaya. Dari hati yang terdalam, lakukan dengan senyuman, saling bahu-membahu antarsesama untuk bantu menjaganya. Demikian kisah saya: dengan cara saya; melalui satu jalan.

Sebuah jalan yang penuh nostalgia

yang senantiasa saya rindukan

dari saya; untuk dunia

--

--

Adelia Hasna Nabilla

Ini adalah Ruang Perspektif; menyapa, berdiskusi, bercerita. Semoga bisa menyembuhkan hati dan jiwa yang patah tak terarah.