Seirama: Dulu, Kini, dan Nanti
Kalau ditanya kenapa, ya sebenarnya juga nggak ada alasan apa-apa. Klise sih katanya kalau cinta itu nggak butuh alasan. Tapi ada benarnya juga, emang terjadi gitu aja. Kalau pun nggak seyakin itu ya mana mungkin mau nungguin hampir tiga tahun tanpa kejelasan gini. Perihal disatukan dengan almamater yang sama lagi atau enggak, menurutku bukan suatu hal yang harus dipermasalahkan sih. Artinya ya let the process answer aja. He also said, “Kalau dipikir yo angel, yo suwe. Tapi buktinya tiga tahun ternyata cepet kan, bisa pasti.”
We’re totally different, in every way.
Pun kalau sama mungkin secara sifat dan mental kali ya? sama-sama struggle to reach our dreams (telaten dan pasti). Dia suka hitam aku suka merah, dia suka daging sapi aku enggak, dia sains teknologi (jenius asli) aku the real bacot dan sosial banget, dia penyabar aku enggak, dia romantis aku cuek. Dari segi agama juga dia lebih menang banyak, so he could lead me better.
OH! Tapi kami sama-sama nggak bisa makan pedes HAHA, cemen.
Tapi dari sinilah kami banyak belajar. Beda itu yang membuat telinga terus saling mendengar. Kami juga punya visi yang sama. Dia tercipta dengan isi kepala yang tahu hidup tuh mau ngapain dan sangat merencanakan arah hidup ke depan. Itu sih yang bikin nyaman, karena kebetulan, aku juga tipe yang demikian. Ya bisa dibilang cukup dewasa lebih dini dibandingkan orang-orang seusia kami. Btw, he plays guitar too, jadi masih ada sefrekuensi lah ya, even he can’t sing as well, haha.
Dengan segala kekurangannya, Rama tahu gimana caranya agar bisa menjadi partner terbaik untuk Malya yang penuh ambisi ini. Bersama dia aku juga merasa disayang sebegitu hebatnya. Dia berhasil meluluhkan batu dan menjadi benteng di kala senang maupun susah. Khusus untuk perempuan sok kuat ini, peluk dan sandarnya selalu ada.
Kalau boleh jujur, sayang aja nggak akan pernah cukup untuk menjamin suatu hubungan akan kuat mengakar. Ada hal lain di luar visi, misi, dan frekuensi; bukan iman, tapi restu. Lancang terucap tapi rasanya ini seperti benteng paling mustahil yang pernah ada. Ternyata menyatukan dua isi kepala tidak menjamin dua keluarga bisa saling bersorai.
“Kita harusnya bisa nunjukin kalau kita bisa,” ucapku 850 hari yang lalu.
“Gimana kalau jangan ‘kita’? tapi aku dulu yang nunjukin kalau aku bisa, kamu juga bisa, baru kita sama-sama nunjukin kalau kita bisa?”
“Sampai kapan?”
“Sampai aku benar-benar datang lagi.”