Sudut Kota; Berbisik Mencarimu–

--

Kota ini masih selalu ramai, tidak pernah sepi; Sama ramainya seperti saat gelas red velvetku jatuh di kafe itu.

Sudah lama ya, kita tidak saling bergandeng tangan, menerobos hiruk-pikuk bunyi klakson mobil yang tengah berhenti di persimpangan. Genggaman erat yang melindungi itu sekarang milik siapa, Rama? Apa sudah kau temukan pengaitnya? Derap langkah kaki yang seirama itu juga masih menjadi musik terindah yang pernah ku dengar. Temponya selalu terngiang-ngiang, seolah meminta izin untuk kembali pulang.

Satu jalan beribu nostalgia yang pernah ku ciptakan bersamamu juga tidak lagi menjadi istimewa. Ramainya hanya didekap sendiri, tidak lagi dibagi-bagi. Terlalu banyak cerita yang tersimpan di dalamnya. Karena merindukanmu, ternyata bisa menjadi hal yang paling rumit. Aku kerap mengenang kita yang saling berbagi minum di tengah teriknya matahari, berlarian mengejar jadwal nonton, atau wajah bingungmu saat memilih properti foto di photobox.

Jatuh cinta denganmu ternyata sederhana. Tidak harus menonton film dengan tiket premium atau makan di restaurant mahal. Cukup naik bus dan bersenda gurau bersama petugas karcis di halte pun jadi. Aku pikir menunggumu menyervis ponsel adalah hal paling membosankan, ternyata itu menjadi kenangan paling berkesan yang sampai saat ini bisa ku ingat.

Aku masih ingin berusaha menghabiskan es kelapa yang kita pesan, membersihkan es krim di sudut bibirmu, berdebat saat memilih pepaya, bahkan sekadar melihatmu menjadi imam di mushola Transmart. Terlalu banyak yang kita lewati, Rama. Semuanya terasa begitu menyenangkan.

Aku tidak pernah malu melakukan hal gila bersamamu. Dan sepertinya, sudut-sudut kota itu malah sudah menyimpan kisahnya sendiri. Tidak mau berbagi cerita manis denganku lagi.

--

--

Adelia Hasna Nabilla
Adelia Hasna Nabilla

Written by Adelia Hasna Nabilla

Ini adalah Ruang Perspektif; menyapa, berdiskusi, bercerita. Semoga bisa menyembuhkan hati dan jiwa yang patah tak terarah.

No responses yet